Apa sih itu Halloween ? Halloween adalah Halloween atau Hallowe'en (kependekan
dari All Hallows’ Evening (Malam Para Kudus),] yang
juga disebut Allhalloween, All Hallows' Eve, atau All
Saints' Eve. Halloween adalah suatu perayaan yang dapat dijumpai di sejumlah
negara pada tanggal 31 Oktober,
yaitu malam Hari Raya Semua Orang Kudus (All
Hallows' Day) di Kekristenan
Barat. Perayaan tersebut mengawali peringatan trihari Masa Para Kudus (Allhallowtide), suatu
periode dalam tahun liturgi yang didedikasikan untuk
mengenang orang yang telah meninggal dunia, termasuk para kudus atau santo/santa (saints, hallows), martir,
dan semua arwah umat beriman.
Terdapat keyakinan luas bahwa banyak tradisi Halloween bermula dari
festival-festival panen Kelt kuno yang
mungkin memiliki akar-akar pagan,
khususnya festival Samhain etnis Gael, dan festival
tersebut dikristenkan sebagai Halloween. Namun,
beberapa akademisi mendukung pandangan bahwa Halloween bermula secara
independen sebagai suatu perayaan Kristen semata-mata.
Kegiatan saat Halloween meliputi Trick or treat (atau
hal terkait dengan penyamaran dengan kostum seram), menghadiri pesta kostum Halloween, mendekorasi,
mengukir waluh menjadi Jack-o'-lantern,
menyalakan api unggun besar, penenungan dan apple bobbing,
bermain lelucon praktis,
mengunjungi atraksi
berhantu, menceritakan dongeng menakutkan, dan menonton film horor.
Di banyak belahan dunia, perayaan keagamaan Kristen saat Malam Para Kudus,
misalnya menghadiri ibadah gereja dan menyalakan lilin pada makam,
masih tetap populer, meskipun di tempat lain berlangsung perayaan yang
lebih sekuler dan komersial. Beberapa umat Kristen secara historis berpantang daging pada
Malam Para Kudus, suatu tradisi yang tercermin dengan makan makanan
tertentu pada hari vigili ini,
misalnya apel, panekuk
kentang, dan kue jiwa.
Pengaruh Kekristenan
Adat dan kebiasaan Halloween masa
kini juga diduga telah dipengaruhi oleh praktik dan dogma yang berasal
dari Kekristenan. Halloween merupakan malam sebelum hari suci
Kristen Hari Para Kudus (All Hallows' Day),
yang juga disebut Hari Semua Orang Kudus (All Saints') atau Hallowmas,
tanggal 1 November dan Hari Semua Jiwa (All
Souls' Day) tanggal 2 November, sehingga tanggal 31 Oktober yang
merupakan hari libur di beberapa negara ini secara lengkap dinamakan Malam Para
Kudus (All Hallows' Eve, yaitu malam sebelum All Hallows' Day). Sejak
zaman Gereja perdana,[69] dalam perayaan besar Kekristenan
(seperti Natal, Paskah,
dan Pentakosta)
dilangsungkan vigili yang dimulai pada malam
sebelumnya, dan demikian juga dengan Hari Para Kudus. Ketiga hari pada masa
tersebut secara kolektif disebut Masa Para Kudus (Allhallowtide)
dan merupakan suatu masa untuk menghormati orang-orang kudus,
serta berdoa bagi jiwa orang yang telah
meninggal yang belum meraih Surga. Peringatan semua orang kudus
dan martir diadakan oleh sejumlah gereja pada berbagai tanggal, terutama saat
musim semi. Pada
tahun 609 atau 610, Paus Bonifasius IV mendedikasikan Pantheon di
Roma bagi St. Maria dan Semua Martir pada tanggal 13 Mei. Tanggal itu
bertepatan dengan Lemuria, suatu festival
arwah dalam tradisi Romawi kuno, serta tanggal yang sama dengan
peringatan umum para Santo/Santa yang berlangsung di Edessa pada zaman Efrem.
Pesta Semua Orang Kudus, pada
tanggalnya sekarang dalam Gereja Barat, dapat ditelusuri dari pendirian
suatu oratorium di Basilika Santo Petrus Lama oleh Paus Gregorius III(731–741) bagi relikui-relikui "dari
para rasul suci dan semua orang kudus, martir, serta pengaku iman". Pada
tahun 835 tanggal
perayaan ini secara resmi dipindahkan ke 1 November, tanggal yang sama dengan
Samhain, atas perintah dari Paus Gregorius IV. Beberapa
kalangan berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh pengaruh bangsa Keltik,
sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa ini adalah gagasan bangsa Jermanik,
kendati terdapat klaim bahwa baik mereka yang berbahasa Keltik maupun
Jermanik memperingati orang meninggal pada awal musim dingin. Mereka
mungkin menganggap hal itu sebagai saat yang paling tepat untuk melakukannya,
karena merupakan saat 'sekarat' di alam. Ada juga dugaan bahwa perubahan
tersebut dilakukan karena "alasan praktis bahwa Roma saat musim panas
tidak dapat menampung sejumlah besar peziarah yang berbondong-bondong ke
sana", dan mungkin disebabkan pertimbangan kesehatan masyarakat berkenaan
dengan Demam Romawi – suatu
penyakit yang merenggut sejumlah nyawa selama musim panas yang pengap di daerah
tersebut.
Pada akhir abad ke-12 hari-hari
tersebut menjadi hari raya wajib di seluruh Eropa dan
mencakup berbagai tradisi seperti membunyikan lonceng gereja bagi
jiwa-jiwa di api penyucian. Selain itu, "merupakan hal
yang lazim bagi para juru siar mengenakan
pakaian serba hitam untuk berpawai di jalan-jalan, membunyikan sebuah bel
dengan suara memilukan dan menyerukan kepada semua umat Kristen yang
berkehendak baik untuk mengenang jiwa-jiwa yang malang tersebut." Ada
pendapat yang mengatakan bahwa souling, yaitu kebiasaan membuat dan
berbagi kue jiwa bagi semua
jiwa yang telah dibaptis,
merupakan asal mula trick-or-treating. Kebiasaan tersebut
berawal dari, setidaknya, abad ke-15 dan ditemukan di berbagai penjuru
Inggris, Flandria, Jerman,
dan Austria.
Sekelompok kaum miskin, seringkali anak-anak, pergi dari pintu ke pintu
sepanjang Masa Para Kudus untuk mengumpulkan kue-kue jiwa sebagai imbalan
atas doa bagi yang telah meninggal dunia,
khususnya jiwa-jiwa para teman dan kerabat sang pemberi kue-kue tersebut. Kue
jiwa juga dipersembahkan bagi jiwa-jiwa itu untuk dimakan, atau diberikan
kepada kaum miskin yang berkeliling tersebut —yang dipandang mewakili mereka. Sebagaimana roti salib panas dalam
tradisi Prapaskah,
kue jiwa pada Masa Para Kudus seringkali ditandai dengan sebuah salib,
mengindikasikan bahwa pembuatan kue-kue itu dimaksudkan sebagai derma.
Shakespeare menyebut souling dalam
komedinya The Two
Gentlemen of Verona (1593).
Mengenai kebiasaan mengenakan kostum,
Prince Sorie Conteh, seorang pendeta Kristen, menuliskan: "Secara tradisi
diyakini bahwa jiwa mereka yang telah meninggal dunia mengembara di bumi sampai
pada Hari Semua Orang Kudus, dan Malam Para Kudus merupakan kesempatan terakhir
bagi yang telah meninggal untuk melakukan pembalasan kepada musuh-musuh mereka
sebelum beralih ke dunia berikutnya. Agar tidak dikenali para jiwa
yang mungkin berusaha melakukan pembalasan itu, orang-orang mengenakan topeng
atau kostum untuk menyamarkan identitas mereka".Dikatakan bahwa, pada Abad
Pertengahan, dalam gereja-gereja yang terlalu miskin untuk dapat
mempertunjukkan relikui para martir pada
Masa Para Kudus mengizinkan umatnya untuk berpakaian seperti para santo/santa. Beberapa
kalangan Kristen mempraktikkan kebiasaan itu pada perayaan Halloween masa kini. Lesley Bannatyne, seorang
penulis Amerika, meyakini bahwa kebiasaan itu mungkin merupakan suatu
Kristenisasi dari suatu kebiasaan pagan sebelumnya. Telah dikemukakan
bahwa jack-o'-lantern, suatu simbol populer Halloween, pada awalnya
merepresentasikan para jiwa orang yang telah meninggal. Saat Halloween, di
Eropa abad pertengahan, "api-api dinyalakan untuk memandu jiwa-jiwa ini
dalam perjalanan mereka dan memalingkan mereka agar tidak menghantui kaum
Kristen yang lurus hati." Rumah tangga di Austria, Inggris, dan Irlandia
seringkali harus "menyalakan lilin di setiap ruangan untuk memandu
jiwa-jiwa tersebut mengunjungi kembali kediaman duniawi mereka".
Lilin-lilin tersebut dikenal sebagai "cahaya jiwa".
Banyak umat Kristen di daratan Eropa,
terutama di Perancis, mempercayai bahwa "sekali setahun, saat
Hallowe'en, arwah mereka yang dimakamkan di halaman gereja bangkit untuk
melangsungkan suatu karnaval yang liar dan mengerikan" yang dikenal
sebagai Danse Macabre (Tarian
Kematian), yang mana sering digambarkan dalam dekorasi gereja. Christopher Allmand dan Rosamond McKitterick menuliskan
dalam The New Cambridge Medieval History bahwa "umat
Kristen tergerak oleh penglihatan Kanak-kanak
Yesus yang bermain di pangkuan ibu-Nya; hati mereka tersentuh
oleh Pietà;
dan para santo pelindung meyakinkan umat akan
kehadiran mereka. Tetapi, sementara itu, danse macabre mendesak
umat agar tidak melupakan akhir dari semua hal duniawi." Sebuah artikel
yang diterbitkan oleh Christianity Today mengklaim
bahwa danse macabre diadakan di pertunjukan pedesaan dan masque (suatu acara hiburan
mengenai pengadilan), di mana orang-orang "berdandan seperti mayat-mayat
dari berbagai lapisan masyarakat", dan mengajukan pendapat bahwa hal ini
merupakan asal mula pesta kostum Halloween.
Di berbagai belahan Britania Raya,
kebiasaan-kebiasaan ini mendapat serangan selama Reformasi
Inggris karena beberapa kalangan Protestan mencerca purgatorium sebagai
suatu doktrin "papisme" yang tidak sesuai dengan gagasan mereka
mengenai predestinasi. Sehingga, bagi beberapa kalangan Protestan Nonkonformis, teologi Malam
Para Kudus didefinisikan kembali; dengan mengesampingkan doktrin purgatorium,
"jiwa-jiwa yang telah berpulang tidak dapat berkelana ke Purgatorium dalam
perjalanan mereka ke Surga, sebagaimana yang umat Katolik sering percayai dan
tegaskan. Sebaliknya, yang disebut hantu dianggap sebagai roh-roh jahat dalam
kenyataannya. Karenanya mereka menebar ancaman." Kalangan Protestan
lainnya mempertahankan keyakinan mengenai keadaan antara,
yang dikenal sebagai Hades (Pangkuan Abraham), dan
tetap merayakan berbagai kebiasaan aslinya, terutama souling, prosesi lilin, serta membunyikan
lonceng gereja untuk mengenang mereka yang telah meninggal.[68][102] Berkenaan
dengan roh jahat,
saat Halloween, "lumbung dan rumah diberkati untuk
melindungi semua orang dan ternak dari pengaruh penyihir, yang diyakini
mengiringi roh-roh ganas saat mereka berkelana di bumi." Pada abad
ke-19, di beberapa bagian pedesaan Inggris, para keluarga berkumpul di
bukit-bukit pada malam All Hallows' Eve. Salah satu orang mengangkat
seikat jerami yang dibakar dengan sebuah garpu panjang, sementara
yang lain berlutut di sekelilingnya dalam lingkaran sambil berdoa bagi
jiwa-jiwa kerabat dan teman mereka sampai api tersebut padam. Kebiasaan ini
dikenal dengan nama teen'lay, yang berasal baik dari bahasa Inggris Kuno tendan (mengobarkan)
ataupun suatu kata yang berhubungan dengan bahasa Irlandia Kuno tenlach (perapian).
Meningkatnya popularitas Malam Guy Fawkes (5 November),
sejak tahun 1605 dan seterusnya, membuat banyak tradisi Halloween goyah karena
disesuaikan dengan hari libur tersebut dan popularitas Halloween memudar di
Britania Raya, dengan Skotlandia sebagai pengecualian yang patut dicatat. Di
sana dan di Irlandia, mereka telah merayakan Samhain dan Halloween setidaknya
sejak Abad Pertengahan Awal; dan kirk Skotlandia (Gereja Skotlandia)
melakukan pendekatan yang lebih pragmatis terhadap Halloween, dengan
memandangnya penting untuk siklus kehidupan dan ritual peralihan di
masyarakat dan karenanya memastikan kelestarian perayaan itu di negara
tersebut.
Di Perancis, beberapa keluarga
Kristen pada malam All Hallows' Eve berdoa di
samping makam orang-orang yang mereka cintai, dan meletakkan pinggan-pinggan
penuh susu bagi mereka. Saat Halloween di Italia,
beberapa keluarga meninggalkan suatu hidangan makanan besar untuk hantu kerabat
mereka yang meninggal dunia, sebelum keluarga tersebut berangkat menuju ibadah gereja. Di Spanyol,
saat malam tersebut, dibuat kue pastri istimewa
yang dikenal sebagai "tulang belulang sang suci" (bahasa Spanyol: Huesos de Santo) dan menaruhnya pada makam-makam di halaman gereja, suatu
praktik yang terus berlanjut hingga saat ini.
Postingan ini bersumber
berikut salah satu video yang memperlihatkan tentang Halloween
(sumber : 4shared melalui akun Ignacio C.)
Komentar
Posting Komentar